28 Mei 2013

Yeremia 9:23-26 (Khotbah Minggu, 2 Juni 2013)



BERMEGAH DALAM KASIH SETIA, KEADILAN DAN KEBENARAN TUHAN

Naluri manusia memiliki tujuan agar dapat memperoleh hidup bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan itu, manusia berlomba dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya, bekerja keras, dan kemudian mendapatkan kekayaan. Namun, ketika manusia mendapatkan semua itu, apakah ia sudah memperoleh kebahagiaan ? Manusia memang menjadi bijak (pintar) melalui pengalaman hidup dan dengan pendidikan. Tetapi itu tidak menjamin ia bahagia. Itu sebabnya dikatakan, janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya. Demikian juga kekuatan dan kekayaan yang dicari dan diperoleh dengan berlelahlelah, itupun tidak menjadi jaminan manusia memperoleh kebahagiaan.
Di zaman yang makin moderen ini, kebaikan Tuhan sesungguhnya makin dirasakan manusia. Tuhan memberikan berbagai fasilitas dan kemampuan bagi manusia. Kehidupan manusia makin sehat, makin kuat, makin kaya, makin cangggih. Jika orang-orang para pendahulu kita, yang telah meninggal satu atau dua generasi sebelumnya bisa bangun dari kuburnya, dan membandingkan kehidupan di zamannya dengan kehidupan masa kini, ia akan akan berdecak kagum, ‘wao’. Begitu banyak perubahan.
Pada zaman Yeremia, perubahan itu juga sudah berlangsung di dalam kehidupan umat Tuhan. Israel dibawah kepemimpinan raja Manasye telah menjalin hubungan bilateral dengan bangsa Asyur. Kehadiran Asyur cukup  memberi andil bagi kemajuan Israel. Bangsa Israel bertumbuh menjadi negara  kuat karena bersahabat dengan Asyur (negara super power pada zamannya), dan makin kaya karena perdagangan yang makin hebat. Raja Manasye cukup bermegah (bangga) atas pencapaian kemajuan bangsanya. Semua itu dirasakan karena kebijakannya menjalin hubungan dengan Asyur. Demi kelanggengan hubungan dengan Asyur, maka raja Manasye juga memberikan kebebasan beragama bagi Asyur mengembangkan kepercayaan/agama yang mereka anut, bahkan memfasilitasi Asyur untuk membangun kuil, tempat peribadahan. Sampai di sini, raja Manasye telah menunjukkan toleransi beragama. Raja Manasye patut mendapat penghargaan atas kebijakannya dalam membangun toleransi beragama.  Namun, raja Manasye terbuai dengan kebijaksanaanya, ia kehilangan sikap kritis, dimana raja Manasye turut mendorong-dorong rakyat Yehuda mengikuti agama Asyur itu. Kehadiran Asyur yang membawa kemajuan sesungguhnya cukup mempengaruhi gaya hidup umat Tuhan, dengan mengidolakan Asyur. Oleh sebab itu, jika raja Manasye mengambil kebijakan agar rakyat Yehuda mengikuti agama Asyur, maka sempurnalah pengidolaan umat. Rakyat Yehuda menjadi ikut terseret memuja Baal, dewa-dewa, dan mengorbankan anak-anak sebagai persembahan dalam agama Asyur. Lebih aneh lagi, raja Manasye menghukum orang-orang yang tidak menuruti agama Asyur. Raja Manasye telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kejahatan. Akibatnya, seluruh budaya dan agama Asyur turut diadopsi umat Tuhan.
Nabi Yeremia melihat pengaruh Asyur ini sudah sangat berbahaya, sebab telah merusak sendi-sendi keimanan umat Tuhan. Raja Manasye telah membuat kebijakan yang membuat bangsa pilihan itu melenceng begitu jauh dari maksud Tuhan. Mereka melihat allah yang disembah Asyur lebih hebat dari Allah yang telah disembah nenek moyang Israel ratusan tahun, yang membebaskan mereka dari perbudakan. Pengaruh agama Baal ini telah mengubah gaya hidup umat Tuhan. Mereka sampai pada pikiran, bahwa segala yang mereka miliki karena ketaatan mereka pada allah Baal. Dengan demikian, apa yang mereka miliki dianggap sebagai kemampuan mereka mengikuti allah Baal. Mereka telah mengabaikan Allah. Inilah kesombongan ! Kelak, Tuhan menghukum Israel menjadi bangsa yang terbuang. Tragisnya, umat Tuhan ini akan menjadi jajahan bangsa Asyur sendiri.
Dalam kemajuan dan sarat kejahatan itulah Yeremia mengingatkan : Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya. Yeremia bukanlah anti terhadap orang-orang bijak, anti terhadap orang kuat, anti terhadap kekayaan. Yang Yeremia sampaikan sebagai hamba Tuhan adalah ‘siapakah sumber semuanya itu’ ? Yeremia hendak menegaskan bahwa segala yang melekat pada umat Tuhan bersumber dari Tuhan. Oleh sebab itu umat Tuhan harus senantiasa menyembah Tuhan. Kalaupun Asyur datang membawa perubahan, bukan berarti umat menyembah allah orang Asyur. Sebab sesungguhnya Tuhan jugalah yang berkenan mengutus bangsa Asyur membawa perubahan itu.
Karena itu, pada ay. 24 Yeremia berkata : ‘siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena ia memahami dan mengenal Aku’. Umat percaya boleh bangga (bermegah) dengan segala yang dimiliki tetapi hendaklah semua itu dilihat sebagai anugerah Allah.

Kita perlu memahami dan mengenal Tuhan, sehingga kita dapat mengimani ungkapan Paulus (Roma 5:2-3), ‘Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita’.
 (a) Memahami Tuhan. Segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian Tuhan. Kita harus mensyukuri segala yang melekat pada diri kita ; entah banyak atau sedikit. Segala yang kita miliki adalah anugerah Tuhan (Sola gratia), bukan karena kekuatan kita semata. Kita memang layak mengucapkan terima kasih bagi orang yang berjasa membuat kita memiliki sesuatu, karena ia berkenan Tuhan pakai menjadi alatNya. Tetapi orang tersebut bukan untuk disembah, apalagi untuk ‘dijilat’. (b) Mengenal Tuhan. Mengenal Tuhan berarti kita tahu kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan atas segala yang kita miliki bukan untuk sekedar pajangan atau dipamerkan. Tuhan menghendaki agar segala yang kita miliki dipergunakan dengan rendah hati bagi kemuliaan Tuhan. Kita tidak benar mengaminkan segala milik kita sebagai pemberian Tuhan kalau kita tidak memberlakukan kehendak Tuhan atas apa yang Tuhan berikan.
Sesungguhnya segala yang kita miliki masih ‘suatu alat’ untuk mencapai kebahagiaan. Suatu alat hanya akan berguna jika ia difungsikan. Kalau hanya sekedar memiliki (sekalipun itu buuuaaanyak) tanpa digunakan, maka manusia belum dapat merasakan kebahagiaan itu.
Illustrasi.Ada seorang ibu yang sudah janda, yang harus membiayai beberapa orang anaknya. Si ibu ini hidup sebagai petani. Demi anak-anaknya, si ibu harus pergi ke ladang ketika matahari belum terbit, dan ia akan pulang setelah matahari tenggelam. Berkat kerja keras sang ibu, seluruh anak-anaknya berhasil menyelesaikan studi dengan baik, memperoleh pekerjaan mapan, dan kemudian hidup dalam berkecukupan. Si ibu tersebut sudah makin tua, dan sesungguhnya sudah dapat menikmati kehidupan dengan tenang. Namun ibu ini malah makin keras bekerja. Seperti biasa ia pergi ke ladang sebelum matahari terbit. Pada jam 10 dia pulang memasak dan sarapan. Lalu ia membungkus makanan untuk bekal siang. Menjelang malam, si ibu itu pulang, mandi, makan nasi yang dimasak tadi pagi, cuci piring sendiri, dan tidur. Seluruh penghasilan yang diperoleh dari hasil jerih payahnya disimpan, tanpa pernah dinikmati selayaknya. Ia kikir untuk dirinya sendiri dan pelit bagi orang lain. Kalau ke gereja ia mengantuk dan ngorok, sebab pagi sebelumnya ia sempatkan ke ladang. Begitulah ia terus menerus sampai hari tuanya. Ibu itu tidak pernah merasakan kebahagiaan, karena pikirannya selalu dicekoki kekayaan tetapi tidak pernah digunakan (dinikmati) bagi dirinya, apalagi bagi kemuliaan Tuhan.
Manusia akan memperoleh kebahagiaan jika manusia itu mampu memahami dan mengenal Tuhan. Di dalam pemahaman dan pengenalan yang benar akan Tuhan, saat itulah manusia bisa merasakan kasih setia Tuhan, keadilan, dan kebenaran. Itulah kebahagiaan. AMIN

Artikel Terkait



1 komentar: