20 Agustus 2015

Wahyu 3:14-22 (Minggu, 30 Agustus 2015)


      BARANGSIAPA KUKASIHI, IA KUTEGOR DAN KUHAJAR

Gereja yang bagaimanakah gereja kita saat ini, dan gereja bagaimana yang kita inginkan ? Kristen yang bagaimanakah kita, dan bagaimana mestinya menjadi Kristen ? Saya sangat percaya, setiap jemaat dan pelayan menghendaki supaya gereja bertumbuh dengan baik.
Kitab Wahyu menggambarkan 7 jemaat yang masing-masing memiliki potensi tetapi sekaligus menjadi jemaat yang dicela dengan berbagai julukan. Jemaat Laodikia dijuluki sebagai jemaat yang ‘suam-suam kuku’. Suam-suam kuku tidak selamanya buruk, ada kalanya disukai orang pada beberapa jenis makanan/minuman. Tapi dalam teks ini, suam-suam kuku memang menjadi celaan. Ada sebuah sumber mata air di Laodikia. Sumber aslinya memang sangat panas tetapi setelah melewati bebatuan, panas air itu berkurang dan menjadi suam-suam kuku. Air yang demikian kurang mantap untuk mandi.

Air yang suam-suam kuku untuk mandi dan minum mungkin masih baik, dan banyak orang menginginkan yang demikian. Tapi untuk suasana berjemaat, suam-suam kuku itu sangat berbahaya. Penulis kitab Wahyu menuliskan (16b) : ‘Aku akan memuntahkan engkau dari mulutku’…..sarge….
Daerah Laodikia merupakan penghasil wol yang dapat diolah sebagai bahan kerajinan untuk dijadikan pakaian. Laodikia menjadi salah satu kota perdagangan, sehingga kehidupan ekonomi masyarakat cukup mapan. Selain ekonomi, Laodikia juga memiliki tempat pendidikan medis.  Laodikia sebagai pusat pendidikan medis telah turut mendorong mereka menikmati kesehatan yang baik. Semua nilai-nilai jasmani ini cukup membuat masyarakat Laodikia merasa mapan dalam segala hal. Dengan kondisi ekonomi dan kesehatan yang baik itu, masyarakat Laodikia merasa tidak butuh siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Kebanggaan dan kesombongan menjadi gaya hidup mereka. Percakapan yang terjadi pun hanya sekitar bisnis, kekayaan yang dimiliki, dan kesehatan fisik. Mereka selalu terobsesi untuk dikagumi orang lain. Dengan kekayaan dan dukungan kesehatan itu, mereka merasa cukup segala-galanya, tidak kekurangan suatu apapun, mereka tidak butuh siapapun. Benar, mereka dapat memiliki dan menikmati ini dan itu.
Dalam kehidupan berjemaat sikap-sikap duniawi itu terbawa-bawa dalam persekutuan. Penulis kitab Wahyu tentu bersyukur atas kepemilikan mereka. Hanya saja dengan segala yang mereka miliki telah membuat mereka menjadi sombong. Kekayaan dianggap sebagai pemberi jaminan hidup. Kekayaan telah cukup menjadi sandaran hidup mereka. Sikap dan mental sombong itu turut terbawa memasuki persekutuan Kristen di jemaat Laodikia. Kekayaan dianggap sebagai pemberi jaminan kelangsungan hidup. Kekayaan telah cukup menjadi sandaran hidup mereka. Kemapanan dalam hidup jasmani/materi bukanlah jaminan untuk beroleh hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Di sinilah gaya hidup mereka itu disoroti oleh terang firman Tuhan. Pengandalan terhadap diri sendiri adalah kesombongan. Sesungguhnya juga, dibalik kesombongan tersembunyi ketakutan. Mereka takut kehilangan atau ambruknya kekayaan yang telah dimiliki. Sekalipun Laodikia sebagai pusat kesehatan tetapi mereka akan tetap menghadapi kematian. Ini juga bagian yang membuat mereka takut di dalam hidup ini. Takut kehilangan harta dan takut pada kematian.
Satu sisi mereka mengaminkan pemberian Tuhan tapi pada sisi lain mereka takut kehilangan. Karena itu, kitab Wahyu menggambarkan mereka sebagai jemaat yang suam-suam kuku. Kesuam-suaman kuku itu diperjelas bahwa sesungguhnya mereka melarat, malang dan miskin, buta dan telanjang. Mereka tidak sungguh-sungguh mengimani Kristus. Mereka berucap tentang Kristus tetapi pikiran dan tindakan mereka jauh dari kehendak Kristus. Tuhan tidak menghendaki kehidupan yang demikian, sama dengan munafik. Tuhan akan memuntahkan orang demikian.
Mengikut Tuhan memerlukan ketegasan. Tuhan menghendaki agar mereka sungguh-sungguh kaya. Jika mereka telah mengaminkan itu bersumber dari Tuhan maka memang tidak perlu ditakutkan bila Tuhan mengambilnya kembali. Itu adalah wewenang Tuhan. Orang kaya yang sesungguhnya tidak ada yang ditakutkan, apapun. Karena itu, jika ingin sungguh-sungguh menjadi kaya, kitab Wahyu menasehati jemaat Laodikia membuat ‘deposito rohani’ : agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.’ Penulis kitab Wahyu sadar bahwa peringatan itu sulit mereka terima bahkan dapat mendatangkan ‘hilang total’ iman mereka. Karena itu dengan sedikit lembut disebutkan (3:19) ‘Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!’ Peringatan keras dari Kristus terhadap jemaat Laodikia ini timbul dari kasihNya.
Sekalipun Kristus memiliki kuasa yang tinggi tetapi Yesus menyebut diriNya berada di  depan pintu yang sedang mengetok pintu (memohon). Jika jemaat Laodikia membuka pintu maka Kristus akan masuk dan makan bersama dengan mereka. Yesus yang adalah kebenaran memanggil umat untuk hidup dalam kebenaran bersama-sama dengan Yesus. Makan bersama merupakan simbol persekutuan bagi orang Palestina. Penerimaan Kristus oleh jemaat Laodikia merupakan pendahuluan dan janji dari yang akan datang. Kristus menjanjikan dengan sungguh-sungguh kepada orang yang menang (yang makan bersamanya) bahwa ia akan duduk bersama-sama dengan Kristus di dunia yang baru. Puncak dari nasehat Yesus ini adalah Pengikut Kristus akan mendapat martabat raja kelak, tetapi hanya jika diikat dalam pertalian dengan Kristus.

Mengikut Kristus adalah sebuah pilihan. Karena itu merupakan pilihan maka setiap pengikut Kristus perlu ketegasan. Mengikut Kristus bukanlah untuk beroleh dunia ini malahan menyangkal dunia. Karena itu, mengikut Kristus berarti keberanian melawan arus dunia yang berwarna kejahatan. Pengikut Kristus harus berani menggarami atau memberi warna atas dunia ini. Kalimat ‘kaki kita masih di dunia ini’ merupakan bahasa kompromi, yang menunjukkan ketidaktegasan mengikut Kristus.
Sekian lama kita telah membangun persekutuan di dalam gereja Tuhan. Bagaimanakah jemaat menghidupi dirinya melalui persekutuan ini. Adakah gereja sungguh-sungguh ruang bagi jemaat dan pelayan untuk menimba kebutuhan rohaninya. Bukankah gereja seringkali digunakan sebagai gelanggang untuk melanggengkan kerakusan kuasa dengan mempertontonkan kehebatannya belaka ? Gereja mestinya menjadi persekutuan di dalam Kristus, dimana setiap orang yang terhisap ke dalamnya beroleh pertumbuhan rohani, entah itu sebagai warga jemaat atau pelayan. AMIN

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar