8 November 2013

Roma 12:17-21 (Khotbah, 10 Nopember 2013)


          KALAHKANLAH KEJAHATAN DENGAN KEBAIKAN

Di sekitar kita banyak sekali terjadi peristiwa kejahatan ; kekerasan, fitnah, kesombongan, kekerasan dsb. Kejahatan sudah menjadi ‘santapan harian’, terutama di kota-kota besar. Kejahatan  bukan hanya terjadi di tempat umum tetapi juga di dalam keluarga yang disebut KDRT, bahkan di antara dan di dalam komunitas beragama.
Lalu, bagaimana orang-orang percaya menghadapi kejahatan itu ? Sudah umum jika kejahatan dibalas dengan kejahatan ; adalah ketakutan yang tersembunyi jika membiarkan kejahatan berlangsung terus-menerus ; dan menunggu berlangsungnya ‘hukum karma’ terhadap pelaku kejahatan hanya membuat orang percaya kehilangan fungsi garamnya.
Paulus dalam surat-suratnya sangat banyak menyoroti kehidupan praktis dalam berjemaat dan bermasyarakat. Dari seluruh surat-surat Paulus, surat Roma adalah yang paling sedikit menyinggung masalah praktis. Namun Paulus sangat kuat memberikan dasar-dasar teologis  untuk mencegah umat dari bahaya pencemaran. Paulus menyadari bahwa jemaat-jemaat selalu menghadapi persoalan ; gereja yang tertekan serta ancaman luar, dan juga pertengkaran yang sangat mungkin timbul di tengah persekutuan. Paulus melihat dengan jelas betapa seringnya timbul kekacauan dalam jemaat karena ide yang salah, gagasan yang berbelit-belit, ajaran yang sesat mengenai iman Kristen. Paulus merasa bahwa perlindungan yang terbaik dalam menghadapi segala kejahatan adalah hidup dengan iman Kristen yang benar.
Paulus mempunyai strategi yang dapat menjadi pedoman bagi orang-orang percaya di Roma dan tentunya dengan hidup orang Kristen saat ini dalam menghadapi kejahatan yang timbul.
Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan
Apabila kejahatan dibalas dengan kejahatan maka korban kejahatan itu sendiri telah turut melakukan kejahatan. Jika kejahatan berhadapan dengan kejahatan, maka ‘tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak’ (Roma 3:10&12). Yang terindah perlu dilakukan adalah melakukan kebaikan. Peneladanan yang terbaik dalam menghadapi kejahatan adalah ungkapan Tuhan Yesus di kayu salib, memohonkan pengampunan bagi mereka yang membunuhnya.
Berilah tempat bagi murka Allah
Ulangan 32:35 Hak-Kulah dendam dan pembalasan, pada waktu kaki mereka goyang, sebab hari bencana bagi mereka telah dekat, akan segera datang apa yang telah disediakan bagi mereka.
Manusia adalah ciptaan Tuhan. Dia yang berkuasa atas kehidupan manussia. Oleh sebab itu, pembalasan atas kejahatan manusia adalah wewenang Tuhan. Kita juga tidak perlu menunggu/melihat pembalasan Tuhan itu terhadap pelaku kejahatan. Kita tidak perlu menyaksikan pelaku kejahatan mengalami penderitaan menurut ukuran kita, sebab Allah bisa saja membuat orang itu tampak menjadi lebih baik. Kita perlu ingat, bahwa ukuran yang dipakai dunia untuk menghakimi manusia tidak sama dengan ukuran yang dipakai Allah. Oleh sebab itu, jangan tunggu orang yang berbuat jahat sampai ia menderita menurut diri kita. Serahkan pada Tuhan.
Lakukanlah kebaikan
Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan bukan berarti korban berdiam diri. Yang perlu dilakukan korban kejahatan bagi pelaku kejahatan adalah kebaikan, dengan memberikan kebutuhan yang diperlukan. Kejahatan seseorang muncul sangat mungkin karena ia tidak memiliki atau kekurangan dalam dirinya. Kekurangan makanan atau dan minuman sebagai kebutuhan pokok sangat mungkin mendorong si pelaku berbuat jahat.  
Kelakuan orang Kristen tidak berhenti pada teori kebaikan, tetapi harus kelihatan baik. Kekristenan yang sejati harus mempunyai kesaksian yang baik bagi semua orang. Kepedulian, solidaritas, penghargaan terhadap orang lain perlu ditonjolkan oleh orang-orang percaya. Kebaikan adalah cara yang Tuhan kehendaki dalam menghadapi kejahatan. Itulah terapan kasih yang Tuhan Yesus ajarkan.
Dengan melakukan hal tersebut di atas, Paulus mengatakan bahwa kita telah ‘menumpukkan bara api di atas kepalanya”. Kejahatan umumnya dilakukan oleh si pelaku karena korban itu dianggap jahat. Namun, ketika korban kejahatannya itu membalas dengan kebaikan maka si pelaku menyadari bahwa anggapannya salah. Ia kemudian malu dan menyesal atas kejahatannya. Ia merasa kepalanya telah dan sedang terbakar, sebagai balasan atas kejahatannya.

 ‘Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah’ (Matius 5:9), demikian sebuah gagasan khotbah Yesus di bukit. Yesus tidak berhenti pada gagasan belaka, melalui darahNya, kita telah diperdamaikan dengan Allah (Roma 5:1). Selanjutnya, kita yang telah menerima damai itu diutus menjadi pembawa damai bagi dunia (2 Korintus 5:17-20).
Kekerasan dengan perang tidak mungkin membawa perdamaian bagi dunia. Allah telah menawarkan kasih bagi umatNya untuk menciptakan perdamaian. Kasih dapat kita upayakan dengan melakukan kebaikan, yaitu kepedulian sehingga tercapai kesejahteraan. Kebutuhan manusia bukan hanya soal jasmani belaka tetapi juga butuh penghormatan, aktualisasi diri. Terpenuhinya kebutuhan manusia akan membuat setiap orang dapat menikmati kebaikan Allah, sehingga rindu kedamaian. Kita perlu peduli terhadap semua itu sebagai duta Kristus dimana kita berada.
Jika kejahatan terlanjur terjadi, bukan wewenang orang percaya menghakimi apalagi membalasnya. Membalas kejahatan dengan kejahatan, maka kita telah turut menjadi pelaku kejahatan. Orang Kristen boleh percaya bahwa segala kehidupan ini tidak ada yang lepas dari pandangan mata Tuhan. Mata Tuhan selalu menatap umatNya. Karena itu, kita perlu ada keyakinan bahwa Allah akan menegakkan keadilan dan menghukum segala kejahatan, sebab Dialah satu-satunya Hakim yang benar. Yang perlu kita lakukan justru adalah berdoa bagi penjahat. Dengan berbuat kebaikan dan doa akan menghentikan kejahatan, dan mereka yang berbuat jahat akan menyesali perbuatannya, sehingga mereka bertobat dan memperoleh keselamatan. AMIN

7 November 2013

Yesaya 2:1-5 (Khotbah, 27 Nopember 2016)




   BERJALAN DALAM TERANG TUHAN (Yesaya 2:1-5)

Nabi Yesaya mendapat panggilan pada umur kira-kira 20 tahun, ketika beribadat di rumah Tuhan. Yesaya menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Yesaya menyampaikan firman Tuhan berkaitan dengan realitas sosial.
Umat Tuhan dikenal sebagai umat yang beribadah. Ibadah menjadi ciri kehidupan mereka. Umat Tuhan sungguh percaya, bahwa Tuhan dapat menuntun dan mengubahkan kondisi mereka menjadi bangsa yang bermartabat. Tuhan sungguh-sungguh memberkati umatNya. Mereka layak disebut Negara yang makmur. Semua itu diaminkan sebagai anugerah Tuhan. Namun, kemakmuran yang diperoleh Negara itu tidak terbagi dengan baik. Mereka (Pemimpin dan pemilik modal) mengabaikan keadilan. Akibatnya, terjadi kesenjangan sosial.
Yesaya memandang ada kerancuan antara peribadahan umat Tuhan dengan ketidakadilan. Bagi Yesaya, peribadahan mestilah sejalan dengan kehidupan yang berkeadilan. Itulah sebabnya kitab Yesaya ini sangat menyoroti hal peribadahan dan keadilan sosial (Yesaya 1:16-17).
Yesaya memulai perikop ini dengan menyebut Yehuda dan Yerusalem. Pernah ada peristiwa di Yerusalem, yang sangat mempengaruhi pemahaman keagamaan Yesaya, yaitu pemindahan tabut Tuhan  ke dalam kota Yerusalem. Dengan pemindahan tabut Tuhan itu, maka Yerusalem dipahami sebagai tempat tinggal Tuhan. Seiring dengan itu, maka Yerusalem menjadi pusat peribadahan. Sebagai pusat peribadahan, maka umat Tuhan memiliki kewajiban melaksanakan ibadah secara bersama-sama pada waktu tertentu.
Yerusalem kemudian layak disebut sebagai ‘kota Raja Besar’ (Mazmur 48:3). Dari kota itu akan memancar cahaya kehadiran Allah penuh keindahan (Mazmur 50:2). Pemahaman ini akan membuat umat Tuhan dan seluruh bangsa datang berduyun-duyun ke Yerusalem. Sekalipun pendakian ke bukit Sion-Yerusalem melelahkan, namun dinikmati dengan penuh sukacita karena mereka akan berjumpa dengan Tuhan. Memandang barisan panjang manusia itu, seolah-olah seluruh manusia sudah berada di dalam arak-arakan itu.

Ada dua hal yang hendak dicapai dalam ibadah raya ini :
Bersatunya keturunan Yakub
Umat Tuhan adalah keturunan Yakub, yang sudah tercerai-berai. Tapi dalam peribadahan ini seluruh keturunan Yakub sudah turut di dalamnya. Adalah suatu pengharapan bagi umat Tuhan untuk kembali membangun persatuan. Karena itu, perjalanan yang penuh sukacita tersebut dipahami sebagai perjalanan menuju ke rumah Allah Yakub. Mereka akan bersatu menerima anugerah Tuhan.
Umat yang berkeadilan
Di Yerusalem, umat menerima firman Tuhan. Firman Tuhan mengajarkan dan menghendaki supaya umat hidup sesuai dengan firman Tuhan. Tuhan menghendaki supaya umatNya yang rajin dan penuh semangat beribadah harus juga hidup dengan firman Tuhan yang menghendaki supaya umat berjalan dalam terang firman Tuhan. Jika umat hidup dengan ibadah ( seremonial) tetapi praktek hidupnya tidak menunjukkan sesuai dengan firman Tuhan, maka itu adalah kemunafikan. Jelasnya, umat Tuhan harus hidup dengan penuh kasih dan berkeadilan.
Kondisi politik di Yehuda cukup stabil, namun bangsa Assyur yang cukup kuat saat itu sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman yang mengerikan. Yesaya meyakini bahwa Tuhan dapat memakai kekuatan Assyur untuk menghukum orang Israel, tetapi Tuhan juga membatasi kekuasaan itu. Kuncinya, jika umat Israel hidup dengan berkeadilan maka mereka akan diberkati. Musuh (Assyur) yang telah siap menyerang dengan senjata penghilang nyawa manusia (pedang dan tombak) akan diubahkan menjadi alat-alat pertanian untuk menambah kemakmuran bagi umatNya. Tuhan sungguh-sungguh dapat menjadi Hakim yang adil bagi semua bangsa. Karena itu, umat Tuhan harus terus berjalan dalam Terang Tuhan.

1.      Kehadiran orang-orang Kristen beribadah dapat dikatakan meningkat, tentunya termasuk di gereja kita. Ini hal yang perlu kita pelihara, sebab Tuhan menghendaki puji dan sembah dari umatNya. Penyembahan yang kita lakukan juga mengingatkan kita akan kebesaran Tuhan. Oleh sebab itu, penyembahan kepada Tuhan bukan hanya berlangsung dan berakhir di dalam ruang gereja saja. Tuhan menghendaki penyembahan kita berkelanjutan dalam hidup keseharian. 
2.      Kita telah memasuki Minggu Advent I, yaitu Minggu penantian (persiapan). Dalam minggu penantian ini kita patut membuka pintu hati kita bagi perdamaian dan persatuan. Dengan demikian, kita boleh bersukacita menyongsong Natal, yaitu hari kelahiran Tuhan kita, Yesus Kristus.
3.      Kita juga patut mensyukuri segala perbuatan Tuhan, memandang orang lain sebagai anak-anak Tuhan, mengasihi orang-orang yang kekurangan, memahami dan memberlakukan segala yang Tuhan anugerahkan bagi kita.
Penyembahan, perdamaian, dan kepedulian merupakan bentuk keadilan yang Tuhan kehendaki. Yang utama adalah bagaiman setiap umat tetap berjalan di dalam jalan Tuhan. Tuhan akan menuntun umatNya. Tuhan selalu memberikan kebaikan bagi hidup kita. AMIN

2 November 2013

Markus 3:31-35 (Khotbah 3 Nopember 2013)



SAUDARA YESUS ADALAH ORANG YANG MELAKUKAN KEHENDAK ALLAH

Pelayanan Yesus selalu mengesankan banyak orang. Pelayanan Yesus menarik perhatian banyak orang karena Yesus berbuat tiga hal : (a) Ia mengasihi mereka, (b) Ia memenuhi kebutuhan mereka, (c) Ia mengajar dengan cara yang menarik dan praktis. Ditengah-tengah pelayanan Yesus yang cukup mengesankan itu, ternyata ada saja yang menolakNya. Selain orang Farisi dan para ahli Taurat yang selalu menjebak Yesus, tantangan juga datang dari keluargaNya. Mereka menganggap Yesus tidak waras. (Markus 3:21) ‘Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi.’
Ibu dan saudara-saudara Yesus memang datang ke tempat dimana Yesus sedang mengajar dan dikelilingi orang banyak. Namun ibu dan saudara-saudara Yesus hanya berada di luar, mereka menyuruh orang memanggil Yesus. Tujuan mereka hendak membawa Yesus pulang karena tindakan Yesus dianggap menyimpang dari kelaziman.  Yesus member tanggapan atas penjemputan itu dengan perkataan.
"Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?" Di sini Yesus mempertanyakan hubungan yang mengikat persaudaran terhadap diriNya. Secara lahiriah (darah dan daging) benar, bahwa Yesus memiliki keluarga inti, yaitu ayah, ibu, serta saudara. Bahkan juga seperti kita memiliki keluarga besar (marga). Hubungan demikian itu baik, tetapi Yesus tidak ingin berhenti sekedar hubungan yang lahiriah itu.
"Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Yesus menunjuk kepada orang-orang yang sedang mengelilingiNya, dan menyebut merekalah ibu dan saudaraNya. Narasi Markus 3:31-35 ini, agaknya  menyerupai sebuah cerita rakyat.  Ada sebuah cerita rakyat tentang seorang pemuda yang pergi merantau ke tempat yang jauh. Setelah kepergian sang anak ke perantauan, sang ibu terus-menerus berdoa untuk keselamatan dan keberhasilan anaknya. Selain doa yang terus dimohonkan, sang ibu setiap hari pergi ke dermaga/pelabuhan dengan harapan sang anak akan kembali. Sementara, si anak berjuang dengan gigih di perantauan sehingga mencapai banyak keberhasilan. Ia juga berhasil mempersunting seorang gadis yang cantik rupawan. Suatu ketika timbul kerinduan pulang ke kampung halamannya, ingin bertemu dengan ibu tercinta dan sekalian untuk memperkenalkan perempuan cantik yang telah menjadi isterinya. Ketika tiba di pelabuhan, seorang ibu tua, wajahnya keriput, kulitnya hitam legam, pakaiannya kumal dan compang-camping ; datang menghampiri sang anak. Si ibu berkata bahwa dia adalah ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Tapi sang anak menyangkal menyangkal, bahwa itu ibunya. Si anak malu terhadap ibu kandungnya sendiri. Si anak itu telah menjadi  durhaka. Singkat cerita; si anak kembali ke perantauannya tanpa mengakui ibu yang telah melahirkannya. Tapi belum jauh meninggalkan  kampung halamannya, datanglah angin badai yang begitu keras. Cerita rakyat yang dikenal dengan Malin Kundang (atau Si Mardan), berakhir tragis ; kapal itu hancur berkeping-keping, sementara jasad sang anak durhaka itu menjadi sebuah batu di tepi sebuah pantai.
Narasi Cerita Rakyat ini agak mirip dengan nas kita ini. Namun, tujuan cerita ini sungguh berbeda. Kisah Malin Kundang adalah putusnya hubungan keluarga seorang ibu dengan anak, dan menuju kebinasaan. Sedangkan kisah Markus 3:31-35 hendak menaikkan hubungan yang lebih baik, dan bertujuan untuk keselamatan. Yesus ingin membawa setiap orang untuk meningkatkan ikatan persaudaraan. Yesus berkata, bahwa ibu dan saudaraNya adalah orang-orang yang melakukan kehendak Allah.
Bagi Yesus tidak ada batasan persaudaraan ; entah itu hubungan darah, persahabatan, sekampung, atau seprofesi. Ukuran menjadi saudara bagi Yesus adalah orang-orang yang melakukan kehendak Allah. Apa itu kehendak Allah ? Kebenaran, kejujuran, kebaikan, kasih ! Kolose 3:12-14 menyebutkan : ‘kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, pengampunan, dan di atas semua itu adalah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan’. Butir-butir yang disebutkan dalam Kolose 3 ini mestinya menjadi karakter orang-orang Kristen. Dengan demikianlah kita menjadi saudara Yesus.

Di dalam kehidupan ini seringkali kita mengalami konflik atau pertikaian, yang menambah beban kehidupan kita. Pertikaian yang terjadi justru terjadi pada hubungan-hubungan yang dekat. Orang Batak memiliki pepatah : ‘ HAU NA JONOK DO NA MARSIOSOHAN’.  Artinya, hubungan yang dekat makin membuat lebih sering konflik.
Keluarga. Mis ; hubungan suami – isteri, orangtua – anak ; saudara kandung dsb. Gereja adalah tempat yang paling dikenal sebagai persekutuan orang-orang percaya. Menjadi pertanyaan : Apakah semua orang di dalam gereja sudah melakukan kehendak Allah ? Fakta di tengah-tengah gereja seringkali muncul kelompok yang diikat oleh berbagai ikatan. Hubungan kita seringkali hanya pada tataran lahiriah.
Kita dapat renungkan konflik-konflik yang pernah terjadi, sesungguhnya karena kita tidak melakukan kehendak Allah. Kita hidup dalam kesombongan, sikap kasar, perkataan yang menyakiti, ketidaksabaran. Selanjutnya, konflik atau pertikaian yang menjadi beban dalam hidup kita tidak berakhir karena ketidaksediaan kita memberi pengampunan.
Firman Tuhan ini memanggil kita untuk membaharui hubungan-hubungan kita menjadi lebih rohani. Kita hidup dalam kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran.
Kita juga berkenan memberi pengampunan, sebab Kristus telah lebih dahulu memberi  pengampunan atas dosa-dosa kita. Dalam Doa Bapa Kami, Tuhan Yesus berkata : ‘ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami’.
Mari saudara-saudara, Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk menghidupkan hati dan melakukan  kehendak Allah, sehingga kita layak disebut sebagai saudara Yesus. AMIN