Saat menonton salah satu tayangan TV swasta
kita “Jika aku Menjadi”, ada banyak hikmah yang didapat dari sana. Obyek acara
itu adalah orang-orang ‘kecil’ yang kehidupan sehari-harinya dipenuhi
pergumulan. Subyeknya adalah mereka yang terbiasa hidup dengan fasilitas
lengkap. Selalu ada airmata dalam setiap acaranya, airmata dari subyek yang tertumpah
setelah sungguh-sungguh merasakan derita si obyek.
Dalam beberapa kali menghadiri suatu
peristiwa kemalangan, saya perhatikan orang-orang yang hadir berusaha untuk
menghibur, namun yang terjadi justru
makin menambah beban orang yang kemalangan itu. Dengan banyaknya ucapan-ucapan
belasungkawa dan kata-kata yang dimaksud untuk menghibur mereka menganggap akan
cukup menolong. Padahal, tidak satu pun ucapan dan kata-kata itu yang masuk ke
hati orang yang kemalangan itu. Bahkan tidak jarang, justru kata-kata itu
menyakitkan perasaan mereka yang kemalangan, “Yah… ini adalah pertanda dari Tuhan, supaya kalian rajin ke gereja!” Saya rasa, orang yang kemalangan akan
tersinggung dengan kata-kata itu. Benar bahwa mereka termasuk orang yang jarang
ke gereja, namun apakah harus diumumkan di depan umum? Pada saat kemalangan
seperti ini?
Tanpa
Bicara
11
|
Ketika
ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa
dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing, yakni: Elifas, orang
T'eman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang Naama. Mereka bersepakat
untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia.
|
|
12
|
Ketika
mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi. Lalu menangislah
mereka dengan suara nyaring. Mereka mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di
kepala terhadap langit.
|
|
13
|
Lalu
mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorang
pun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa
sangat berat penderitaannya.
|
Tuturan di atas adalah salah satu bagian
yang paling mengharukan dalam kitab Ayub (pasal 2:11-13). Sahabat-sahabat Ayub datang
dari tempatnya masing-masing dengan ‘bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa
kepadanya dan mengibur dia’. Tali persahabatan mengikat mereka dengan Ayub
kendati Ayub dalam penderitaan dan malapetaka. Tapi waktu mereka melihatnya,
mereka tidak mengenalnya lagi. Sahabat-sahabat Ayub menyatakan dukacita mereka
dengan cara yang lazim pada zaman itu; mereka menangis dengan suara nyaring,
mengoyak jubah mereka dan menaburkan debu di kepala. Namun yang mengherankan, 7
hari 7 malam mereka duduk di tanah bersama Ayub tanpa mengucapkan sepatah kata
pun ‘karena mereka melihat, bahwa sangat berat pendertaannya.’ Di sini mencuat
persahabatan sejati. Inilah pelayanan lugu oleh keprihatinan yang mendalam. Stanley
Hauerwas menyebutnya ‘hadir untuk
turut menderita’, dalam bukunya yang berjudul Suffering Presence, Hauerwas
mengutip Ayub 2:11-13 sebagai pengantar salah satu bab dari bukunya itu, yang
menceritakan pelayanannya terhadap sahabatnya, Bob, karena ibu sahabatnya itu
meninggal bunuh diri:
Setiap saya mengenang
pelayanan saya yang singkat terhadap Bob, saya teringat akan ketidakmampuan
saya menolong dia. Saya tidak tahu apa yang dapat atau seharusnya saya katakan.
Saya tidak tahu bagaimana menolong Bob, menangani apa saja yang harus ditangani
pada saat kritis yang begitu ngeri. Satu-satunya yang dapat saya lakukan adalah
hadir. Dan akhirnya saya menyadari,
bahwa yang benar-benar dia butuhkan adalah justru kehadiran saya. Kendati saya tidak becus, tapi kehadiran saya itu
menyatakan kepada Bob, bahwa peristiwa yang sedang dia hadapi tidaklah terlalu
mengerikan sehingga memisahkan dia dari saya atau dari sesamanya. Kehidupan
masih terus berlanjut….
Saya sekarang
berpendapat, pada waktu itu Allah memberi kesempatan istimewa kepada saya untuk
hadir, apada saat sesama saya ditimpa
penderitaan dan tersiksa, kendati saya belum mengerti betapa pentingnya suatu kehadiran.
Yang mencolok dari perilaku sahabat-sahabat
Ayub, ialah keibaan yang penuh keprihatinan yang terwujud dalam kehadiran
mereka meski tanpa bicara. Dengan berdiam diri mereka telah menyatakan sesuatu
lebih dari apa yang dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena tidak ada yang
dapat diucapkan.
Tentang kehadiran
itu Craig Dykstra berkata lebih
gambalang lagi:
Kehadiran adalah
pelayanan dengan kesudian membuka diri dan peka terhadap setiap kemungkinan.
Hadir untuk bersama-sama orang yang sedang ditimpa penderitaan, berarti
menempatkan diri sendiri pada posisi dilanda derita seperti orang yang sedang
menderita itu, dan membuka diri juga terserang oleh orang itu. Artinya, rela
menanggung derita yang sedang ditanggung oleh orang itu dan bersama-sama dengan
dia dalam penderitaannya. Tapi itu sama sekali tidak berarti berusaha menjadi
orang yang ditimpa penderitaan itu. Hadir bukanlah berarti mengambil alih
kedudukan orang yang ditimpa penderitaan, sebab bila demikian itu berarti
merendahkan orang itu, dan seolah-olah kita berkata kepada dia, “Saya ebih mamu
daripada Anda memikul penderitaan Anda. Minggirlah. Saya mampu menggantikan
Anda.” Halnya tidaklah demikian. Kehadiran adalah membuka diri terhadap
penderitaan yang sedang menimpa seseorang, dan menyertainya terhadap serangan.
(C. Dykstra, Vision and Character –
Paulist Pres, 1981, hlm 102)
Bishop J.V. Taylor menutup bukunya dengan
cuplikan berikut:
Rekan sekerja saya
bercerita bahwa seorang ibi, asal Karibia, dikabari tentang kematian suaminya
dalam kecelakaan lalu lintas. Ibu Karibia itu sangat terkejut. Sangat terpukul.
Ia jatuh emas di kursi tamu. Tidak bergerak. Tidak bicara. Matanya melotot
terus lurus ke depan.
Keluarganya datang.
Sahabat-sahabatnya dan polisi juga datang. Tapi Ibu Karibia itu tetap tegang
membisu. Kemudian seorang ibu – guru dari anak-anak Ibu Karibia itu – datang
dan mendekati dia. Ibu Guru itu duduk, lalu memeluknya dengan kuat. Memegang
tangannya dan mencium pipinya. Ibu Guru merasakan kesedihan Ibu Karibia itu.
Air mata ibu Guru itu menetes membasahi tangan mereka berdua.
Tidak lama kemudian
Ibu Karibia itu bergerak dan mulai menangis. Lalu ibu Guru itu bangkit,
menyerahkan amplop dukanya dan mohon diri.
Demikian itulah
pelukan dan ciuman Allah yang berdampak pada kehidupan. Demikian pula pelukan
kehadiran-Nya dan pinta doa kita. Dan Roh Kudus memberi kekuatan pada tangan
yang memeluk, keringat pada pipi yang mencium, dan deraian air mata membasahi
tangan yang saling berpegangan. Roh kudus hadir sedemikian dekat dengan
kekuatan yang mustahil dilawan. (J.V. Taylor, The Go Between God – SCM Press, 1972, hlm 243)
Hadir dan turut
menderita adalah pelayanan tanpa bicara, dan pelayanan seperti itu punya kuasa.
(Sumber: cuplikan buku David Atkinson, The Message of
Job – Inter-Varsity Press, 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar