TUHAN SUMBER HIKMAT
Pernahkah saudara menceritakan Yesus pada
orang yang belum percaya ? Ketika kita menceritakan kelemahlembutan Yesus,
orang tersebut bisa percaya. Ketika kita bercerita, bahwa Yesus dapat membuat
mujizat, orang itu masih bisa percaya. Tetapi,
bagaimana ketika kita menceritakan, bahwa Yesus disalibkan, mati, dan
bangkit pada hari ketiga, untuk keselamatan manusia - masihkah orang itu bisa
percaya ? Sulit … orang itu tidak akan percaya. Orang itu sulit mengaminkan.
Itu bisa dianggap kebodohan.
Pemberitaan salib dipandang sebagai ‘kebodohan’
oleh mereka yang belum percaya. Dalam pikiran manusia, adalah suatu ‘kebodohan’
kalau Anak Allah disalibkan karena dosa
manusia. Bukankah dosa itu dapat dibinasakan olehNya hanya dengan kata ? Jalan
pikiran dunia itu pula yang membuat Yesus menegur Petrus. (Markus 8:33) : ‘Enyahlah
Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa
yang dipikirkan manusia’.
Manusia tidak dapat mencari Allah dengan
hikmatnya sendiri; tetapi Allah yang datang menyatakan diri-Nya kepada manusia.
Manusia dapat memahami Allah bila ia menerima firman (hikmat) Allah. Yesus
disalibkan dan dibangkitkan adalah penyataan Allah. Penyataan ini hendak
menekankan bahwa Kristus harus disalibkan agar manusia diselamatkan. Logika
manusia melihat itu sebagai ‘kebodohan’. Tetapi yang percaya pada salib,
merekalah yang memperoleh keselamatan.
Orang Yahudi suka ‘Tanda’
Orang Yahudi dapat menerima (percaya)
terhadap sesuatu selalu berdasarkan fakta atau realita. Mereka (sejak zaman
Perjanjian Lama) selalu meminta tanda dari Allah, sebagai bukti dari kehadiran
dan penyertaanNya. Ketika mereka lapar maka mereka bersungutsungut.
Sungutsungut berhenti saat Tuhan memberikan manna. Memasuki zaman Perjanjian
Baru pun, mereka selalu meminta ‘tanda’ dari Tuhan Yesus. Mereka percaya pada
Yesus saat Yesus memberikan ‘tanda’, dan harus sesuai dengan harapan mereka.
Mereka percaya saat Yesus menyembuhkan orang sakit, saat memberi makan orang
banyak, dan tanda lainnya. Oleh sebab itu pula, kematian Yesus merupakan ‘tanda
kegagalan’. Mereka menilai kematian Yesus sebagai suatu kegagalan besar, sebab
tidak sesuai dengan harapan mereka tentang seorang Mesias. Pikiran mereka
justru Yesus menjadi raja dunia. Namun anehnya, mereka juga tidak percaya pada
tanda Kristus yang terbesar, yaitu kebangkitanNya.
Orang Yunani suka ‘Mencari hikmat’
Orang Yunani selalu menekankan bahwa
kebenaran hanya dapat diterima secara logika atau pikiran manusia. Bagi mereka,
salib Kristus adalah kebodohan, karena tidak masuk akal bahwa seorang yang
sudah mati dapat menyelamatkan orang lain. Itu pula sebabnya ada ungkapan
ketika Yesus disalibkan, diriNya pun tak dapat diselamatkan.
Pokoknya, apa yang tidak menguntungkan dari
kata dan perbuatan Yesus, tidak menarik bagi mereka. Kematian Kristus sulit
mereka percayai.
Paulus menjawab ketidakpercayaan orang
Yahudi dan Yunani, bahwa penderitaan ; penyaliban dan kebangkitan Yesus adalah
‘kekuatan Allah’. Memang, kematian Kristus dianggap ‘bodoh dan lemah’, karena dipandang dari sudut
duniawi. Tetapi sesungguhnya, perbuatan Allah melalui salib itu melebihi segala
hikmat dan kekuatan manusia. Injil adalah kuasa Allah untuk mengalahkan kuasa
dosa serta memperbarui manusia yang percaya (Roma 1:16). Paulus telah mengalami
hidup baru dan bersaksi, bahwa hanya orang yang hidup dalam hikmat Allah dapat
merasakan kekuatan atas kematian Kristus. Mereka dapat mengerti dan meyakini
bahwa salib Kristus merupakan ‘kekuatan dan hikmat Allah’ untuk mengalahkan
kuasa dosa dan maut. Kematian Yesus merupakan satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan manusia.
Paulus pada puncaknya menyampaikan dengan
penuh keagungan (25) dalam bahasa rakyat : ‘Sebab yang nampaknya bodoh pada
Allah, adalah lebih bijaksana daripada kebijaksanaan manusia; dan yang
nampaknya lemah pada Allah, adalah lebih kuat daripada kekuatan manusia’. Iman seperti
itulah juga diungkapkan oleh
Ayub (12 : 13) : ‘Pada Allahlah hikmat dan kekuatan’.
Kita sekarang hidup pada zaman rasional.
Tetapi apakah zaman ini membawa manusia pada hidup yang lebih berbahagia ? Bukankah
manusia makin lebih khawatir ? Bukankah banyak orang membangun dusta dengan
rasional pula … hahhaha… Kita tidak anti dengan rasional/kepintaran, tetapi
hendaklah semua itu membangun hidup untuk percaya pada Kristus.
Dalam hidup ini banyak kejadian yang tidak
kita mengerti. Terkadang ada peristiwa yang kita rasakan sebagai sukacita, tapi
terkadang kita rasakan duka. Sesungguhnya, semua yang kita alami dapat menjadi
‘tanda’ supaya kita percaya pada Tuhan. Kita tidak hanya mendekat pada Allah
jika sesuatu itu berkenan kepada diri kita, tetapi kita juga harus percaya pada
kuasa Tuhan terhadap sesuatu yang tidak kita kehendaki. Sebab, hal yang tidak
berkenan kepada pikiran kita, justru di
situ Allah dapat menyatakan diriNya.
Firman Tuhan yang menuntun hidup kita untuk
mengalami hidup benar seringkali ‘ditolak’. Penolakan terjadi karena kita
menggunakan pikiran dunia, atau mungkin karakter diri kita yang masih sangat
duniawi. Mengasihi sesama, apalagi disebut mengasihi musuh maka begitu tinggi
penolakan dari dalam diri kita. Demikian juga sikap saling menolong. Bisa jadi,
orang menganggap itu suatu kebodohan. Orang yang memiliki anggapan seperti itu,
maka ia akan menjadi orang yang tidak pernah menolong sesamanya.
Karena itu, marilah kita menghidupi diri
kita dengan hikmat Tuhan. Menerima firman Tuhan sebagai penuntun hidup kita,
sebab itulah yang sumber segala hikmat. Melakukan firmanNya dengan tulus. Bersyukur
kepada Tuhan Yesus yang telah menyediakan apa yang tidak pernah dapat kita
capai dengan kekuatan sendiri. Pada akhirnya, Tuhan Yesus menyediakan
keselamatan bagi setiap kita orang percaya. AMIN
Terimakasih Amang. atas firmannya. Tuhan Yesus memberkati. Syalom.
BalasHapus