16 Februari 2019

1 Korintus 1:18-25 (SEPTUAGESIMA)



        TUHAN SUMBER HIKMAT

Pernahkah saudara menceritakan Yesus pada orang yang belum percaya ? Ketika kita menceritakan kelemahlembutan Yesus, orang tersebut bisa percaya. Ketika kita bercerita, bahwa Yesus dapat membuat mujizat, orang itu masih bisa percaya. Tetapi,  bagaimana ketika kita menceritakan, bahwa Yesus disalibkan, mati, dan bangkit pada hari ketiga, untuk keselamatan manusia - masihkah orang itu bisa percaya ? Sulit … orang itu tidak akan percaya. Orang itu sulit mengaminkan. Itu bisa dianggap kebodohan.   

Pemberitaan salib dipandang sebagai ‘kebodohan’ oleh mereka yang belum percaya. Dalam pikiran manusia, adalah suatu ‘kebodohan’ kalau  Anak Allah disalibkan karena dosa manusia. Bukankah dosa itu dapat dibinasakan olehNya hanya dengan kata ? Jalan pikiran dunia itu pula yang membuat Yesus menegur Petrus. (Markus 8:33) : ‘Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia’.
Manusia tidak dapat mencari Allah dengan hikmatnya sendiri; tetapi Allah yang datang menyatakan diri-Nya kepada manusia. Manusia dapat memahami Allah bila ia menerima firman (hikmat) Allah. Yesus disalibkan dan dibangkitkan adalah penyataan Allah. Penyataan ini hendak menekankan bahwa Kristus harus disalibkan agar manusia diselamatkan. Logika manusia melihat itu sebagai ‘kebodohan’. Tetapi yang percaya pada salib, merekalah yang memperoleh keselamatan.
Orang Yahudi suka ‘Tanda’
Orang Yahudi dapat menerima (percaya) terhadap sesuatu selalu berdasarkan fakta atau realita. Mereka (sejak zaman Perjanjian Lama) selalu meminta tanda dari Allah, sebagai bukti dari kehadiran dan penyertaanNya. Ketika mereka lapar maka mereka bersungutsungut. Sungutsungut berhenti saat Tuhan memberikan manna. Memasuki zaman Perjanjian Baru pun, mereka selalu meminta ‘tanda’ dari Tuhan Yesus. Mereka percaya pada Yesus saat Yesus memberikan ‘tanda’, dan harus sesuai dengan harapan mereka. Mereka percaya saat Yesus menyembuhkan orang sakit, saat memberi makan orang banyak, dan tanda lainnya. Oleh sebab itu pula, kematian Yesus merupakan ‘tanda kegagalan’. Mereka menilai kematian Yesus sebagai suatu kegagalan besar, sebab tidak sesuai dengan harapan mereka tentang seorang Mesias. Pikiran mereka justru Yesus menjadi raja dunia. Namun anehnya, mereka juga tidak percaya pada tanda Kristus yang terbesar, yaitu kebangkitanNya.
Orang Yunani suka ‘Mencari hikmat’
Orang Yunani selalu menekankan bahwa kebenaran hanya dapat diterima secara logika atau pikiran manusia. Bagi mereka, salib Kristus adalah kebodohan, karena tidak masuk akal bahwa seorang yang sudah mati dapat menyelamatkan orang lain. Itu pula sebabnya ada ungkapan ketika Yesus disalibkan, diriNya pun tak dapat diselamatkan.
Pokoknya, apa yang tidak menguntungkan dari kata dan perbuatan Yesus, tidak menarik bagi mereka. Kematian Kristus sulit mereka percayai.
Paulus menjawab ketidakpercayaan orang Yahudi dan Yunani, bahwa penderitaan ; penyaliban dan kebangkitan Yesus adalah ‘kekuatan Allah’. Memang, kematian Kristus dianggap ‘bodoh  dan lemah’, karena dipandang dari sudut duniawi. Tetapi sesungguhnya, perbuatan Allah melalui salib itu melebihi segala hikmat dan kekuatan manusia. Injil adalah kuasa Allah untuk mengalahkan kuasa dosa serta memperbarui manusia yang percaya (Roma 1:16). Paulus telah mengalami hidup baru dan bersaksi, bahwa hanya orang yang hidup dalam hikmat Allah dapat merasakan kekuatan atas kematian Kristus. Mereka dapat mengerti dan meyakini bahwa salib Kristus merupakan ‘kekuatan dan hikmat Allah’ untuk mengalahkan kuasa dosa dan maut. Kematian Yesus merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia.

Paulus pada puncaknya menyampaikan dengan penuh keagungan (25) dalam bahasa rakyat : ‘Sebab yang nampaknya bodoh pada Allah, adalah lebih bijaksana daripada kebijaksanaan manusia; dan yang nampaknya lemah pada Allah, adalah lebih kuat daripada kekuatan manusia’. Iman  seperti  itulah  juga diungkapkan  oleh  Ayub  (12 : 13) :  Pada Allahlah hikmat dan kekuatan’.  
Kita sekarang hidup pada zaman rasional. Tetapi apakah zaman ini membawa manusia pada hidup yang lebih berbahagia ? Bukankah manusia makin lebih khawatir ? Bukankah banyak orang membangun dusta dengan rasional pula … hahhaha… Kita tidak anti dengan rasional/kepintaran, tetapi hendaklah semua itu membangun hidup untuk percaya pada Kristus.
Dalam hidup ini banyak kejadian yang tidak kita mengerti. Terkadang ada peristiwa yang kita rasakan sebagai sukacita, tapi terkadang kita rasakan duka. Sesungguhnya, semua yang kita alami dapat menjadi ‘tanda’ supaya kita percaya pada Tuhan. Kita tidak hanya mendekat pada Allah jika sesuatu itu berkenan kepada diri kita, tetapi kita juga harus percaya pada kuasa Tuhan terhadap sesuatu yang tidak kita kehendaki. Sebab, hal yang tidak berkenan kepada pikiran kita,  justru di situ Allah dapat menyatakan diriNya.

Firman Tuhan yang menuntun hidup kita untuk mengalami hidup benar seringkali ‘ditolak’. Penolakan terjadi karena kita menggunakan pikiran dunia, atau mungkin karakter diri kita yang masih sangat duniawi. Mengasihi sesama, apalagi disebut mengasihi musuh maka begitu tinggi penolakan dari dalam diri kita. Demikian juga sikap saling menolong. Bisa jadi, orang menganggap itu suatu kebodohan. Orang yang memiliki anggapan seperti itu, maka ia akan menjadi orang yang tidak pernah menolong sesamanya.

Karena itu, marilah kita menghidupi diri kita dengan hikmat Tuhan. Menerima firman Tuhan sebagai penuntun hidup kita, sebab itulah yang sumber segala hikmat. Melakukan firmanNya dengan tulus. Bersyukur kepada Tuhan Yesus yang telah menyediakan apa yang tidak pernah dapat kita capai dengan kekuatan sendiri. Pada akhirnya, Tuhan Yesus menyediakan keselamatan bagi setiap kita orang percaya. AMIN

Artikel Terkait



1 komentar:

  1. Terimakasih Amang. atas firmannya. Tuhan Yesus memberkati. Syalom.

    BalasHapus