14 April 2020

Mazmur 42:1-6 JIWAKU HAUS



               JIWAKU HAUS KEPADA ALLAH

Dalam hidup manusia, acapkali yang terlihat adalah kejasmanian manusia ; fisik dan atau materi. Penilaian senangnya seseorang, termasuk diri sendiri diukur dari hal jasmani itu. Artinya, kebahagiaan seseorang diukur dari yang terlihat. Jika seseorang memiliki kekayaan maka ia disebut bahagia. Benarkah demikian ?
Merenungkan Mazmur 42 ini, kita diajak melihat satu hal yang lebih penting di dalam diri manusia. Mazmur ini mulai dengan menggambarkan rusa yang merindukan sungai yang berair. Sama seperti makhluk lain, rusa membutuhkan air. Binatang ini suka berada di tepi sungai. Selain membutuhkan air untuk minumannya, sungai yang berair menjadi penting bagi peyelamat rusa. Ketika diserang oleh binatang buas biasanya rusa-rusa akan lari, sekalipun ia memiliki tanduk panjang. Rusa itu akan lari dengan menceburkan diri ke sungai sehingga para pemangsa tidak dapat mencium lagi baunya. Dengan demikian, sungai yang berair sangat penting bagi rusa, selain kebutuhan fisiknya juga menjadi keselamatannya.
Gambaran rusa yang sangat membutuhkan sungai berair untuk keselamatannya, demikian hati pemazmur kepada Tuhan. Pemazmur memang diperhadapkan dengan pergumulan berat, yang membuatnya menangis siang dan malam. Beratnya pergumulan pemazmur ini dilukiskan dengan kalimat ‘jiwaku gundah gulana’ (use ma huhilala rohangku di bagasan).
Dalam menghadapi kemelut hidup yang dialami pemazmur, hanya Allah yang dapat menenangkan hatinya. Ia ingin segera berjumpa dengan Allah. Karena itu, ia segera melangkah ke rumah Allah. Ia ingin bersyukur kepadaNya, sebab hanya Allah yang dapat menolong, menenteramkan jiwanya.

Barangkali tak seorang ingin menderita dalam hidup ini. Sedapat mungkin, kalaupun  hidup makmur tidak tercapai, setidak-tidaknya janganlah menderita. Itu kira-kira harapan manusia dalam hidup ini. Namun kenyataannya hidup adalah penderitaan. Penderitaan  tidak pernah lepas dari hidup manusia. Mulai dari kelahiran seorang bayi; ia menangis ! Tangis itu menandakan bayi itu menderita. Bayi yang sebelumnya merasa nyaman di dalam rahim ibunya karena semua kebutuhan nafas dan makanannya terpenuhi. Kini, bayi itu menangis karena ia tidak lagi mendapatkan nafas dan makan secara otomatis. Bayi itu merasakan sesuatu yang lain atas kelangsungan hidupnya. Keadaan yang sebelumnya berjalan otomatis, kini harus melalui perjuangan. Bayi itu menderita.
Penderitaan  terus berkelanjutan seiring dengan kebutuhan manusia. Manusia menderita karena tekanan ekonomi, sosial, bahkan politik. Manusia butuh; makanan, fasilitas, status, keamanan, keadilan. Manusia juga membutuhkan kesehatan, jangan sampai dirawat di rumah sakit. Manusia tidak ingin menghadapi persoalan-persoalan yang dapat menambah rumit hidup ini. Ketika manusia tidak memperoleh semua itu, dan memang manusia tidak pernah memperoleh semua itu, maka penderitaan itu terasa menyertai hidup ini.
Derita corona yang sedang kita alami saat ini tentu sangat menekan jiwa kita. Jangan panik, tapi bagaimana menyikapinya. Pemerintah dan para medis telah memberikan himbauan. Ikuti saja ! Lalu, kita senantiasa memohon belas kasih Tuhan. Jangan lagi gundah jiwamu.
Penderitaan sebagai sesuatu yang mewarnai hidup manusia bertujuan supaya manusia itu makin mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan penderitaan itu, manusia mau mengakui bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang mengendalikan hidup manusia. Penderitaan yang sedang kita alami di dunia ini hanyalah sementara. Sebagai orang beriman, umat Tuhan harus menyadari bahwa kita tergolong sebagai peziarah di dunia ini, yang sangat mungkin mengalami tekanan. Tekanan yang terjadi jangan membuat kecut/tawar hati tetapi harus tegar menerimanya, sebagai konsekuensi hidup.
Umat Tuhan senantiasa harus mampu bergembira ditengah-tengah kesukaran hidup ini. Kita senantiasa memiliki keyakinan pada Kristus, yang telah menyediakan hal yang lebih besar dan yang lebih sempurna dibandingkan apa yang kita alami saat ini. Karena itu, sebagai orang beriman, kita patut mengarahkan diri kepada hal yang rohani.
Semua orang pasti mendambakan ketenangan dalam hidup ini. Tanpa ketenangan, hidup kita  bagaikan laut yang bergelora, mengakibatkan segala sesuatunya kacau, karena kita tidak dapat mengatur dan mengendalikan diri sebagaimana mestinya.
Pemazmur jujur mengakui kelemahannya. Dia berkata: Jiwaku tertekan dalam diriku. Pemazmur memiliki Jiwa yang haus kepada Tuhan. Pemazmur ini mungkin memiliki ‘tanduk’, kekuatan jasmani, tetapi jiwanya kosong. Kita adalah manusia yang butuh ketenangan dan keselamatan. Tuhan adalah sumber segala kehidupan kita. ‘Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku’ (Mazmur 62:6). AMIN

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar