Apakah kita pernah mengungkapkan cinta
kepada anak-anak kita melalui sentuhan fisik? Sebuah studi tentang orang tua
dan anak menunjukkan bahwa sentuhan fisik yang dilakukan orang tua kepada
anak-anaknya hanya terjadi saat mereka melakukan hal-hal yang diperlukan saja.
Misalnya, orang tua hanya menyentuh anak-anak mereka saat memakaikan pakaian
mereka atau membuka pakaian mereka, atau saat orang tua membantu anak keluar
dari mobil. Padahal sentuhan fisik diperlukan lebih dari sekadar itu.
Dr. Ross Campbell mengatakan bahwa sentuhan
fisik adalah salah cara untuk menunjukkan cinta kepada anak-anak kita. Karena
dengan sentuhan fisik, orang tua memiliki kesempatan yang luar biasa untuk
mengajarkan banyak hal kepada anaknya. Beberapa pelajaran yang diterima oleh
seorang anak saat ia mengalami sentuhan fisik dari orang tuanya:
1.
Memberi Keamanan secara emosional
Ada beberapa keadaan di dalam hidup
anak-anak kita, di mana mereka merasa tidak nyaman dan aman. Misalnya saat
mereka menghadapi tes atau ulangan. Ada ketakutan di dalam hati mereka, jangan-jangan
mereka gagal. Setelah itu, banyak juga memikirkan akibat dari kegagalan yang
bisa mereka alami. Misalnya, mereka akan malu di depan teman-temannya, mereka
dimarahi oleh orang tuanya, atau mereka mengalami seleksi sosial di mana
teman-temannya menyingkirkan keberadaannya.
Dalam keadaan seperti itu, orang tua perlu
memberikan dorongan dan pengukuhan bahwa mereka akan merasa aman jika berada di
dekat orang tua. Peganglah bahunya sambil mengatakan, “Papa mendoakan kamu.
Lakukan yang terbaik, Tuhan akan menolongmu!” atau saat anak-anak kita akan
pergi meninggalkan kita untuk sejangka waktu karena harus mengikuti program
sekolah atau gereja, seperti retret atau rekreasi. Sebagai orang tua kita dapat
mengusap punggungnya sambil berkata, “Hati-hati di jalan ya.
Bersenang-senanglah bersama temanmu.” Bahkan ketika seorang anak akan
berhadapan atau berjumpa dengan orang yang memusuhinya, dari kendaraan kita
mengatakan sambil memegang tangannya dan mengatakan, “Papa tahu, Tuhan akan
menolongmu untuk mengampuninya dan bermain kembali bersamanya!”
Saat gejolak emosi anak mulai meninggi,
kata-kata dan sentuhan fisik membantu anak untuk menetralkan perasaannya. Di
titik itulah juga kita sebagai orang tua menjadi sangat efektif menyentuh hati
mereka dan masuk ke dalam jendela hatinya. Apapun yang kita katakan akan
menjadi lebih efektif karena mereka sedang membutuhkannya.
2.
Membangun harga diri anak
Ada kalanya anak-anak kita gagal dalam
menjalani “kompetisi” hidup. Mereka merasa tidak seperti anak-anak lain atau
teman-teman mereka. Mereka lebih lemah dan tidak berhasil melakukan sesuatu
yang membanggakan. Apa yang akan kita lakukan saat mereka mengalami hal
tersebut?
Suatu kali seorang ayah memeluk bahu
anaknya dalam sebuah pertandingan baseball. Ia bukan hanya memeluk bahu anaknya
yang baru saja selesai bertanding, tetapi ia sesekali menepuk-nepuk bahu
anaknya dan memberikan pandangan yang dalam ke arah mata anaknya. Entah apa
yang dikatakannya, namun saat ia mengatakan hal yang lucu, mereka tertawa
bersama dan ayah itu memeluk anaknya.
Apakah kita juga melakukan itu kepada
anak-anak kita? Ada saat di mana anak-anak kita diberi kesempatan oleh sekolah
atau gereja untuk menunjukkan talenta yang mereka miliki. Usahakanlah hadir
bagi mereka bukan hanya sekadar menyaksikan mereka, tetapi datangilah mereka
dan berikan komentar-komentar yang membuat anak-anak kita tahu, bahwa kita
sungguh menghargai usahanya. Perkataan yang membangun menurut Amsal 12:25
menggembirakan hati. Anak-anak yang gembira karena orang tuanya, secara tidak
langsung belajar bahwa mereka berharga di mata orang tua.
Penghargaan itu bukan semata-mata karena
mereka sudah melakukannya dengan sempurna, tetapi karena mereka mau dan berani
menunjukkan kemampuan mereka. Sehingga apapun hasilnya, bukan hasil dari
pertunjukan mereka yang menjadi tolak ukur penilaian dan penghargaan kita
kepada mereka. Tetapi upaya mereka untuk menunjukkan kemampuan mereka, apapun
risikonya, itulah yang membuat kita sebagai orang tua, bangga terhadap mereka.
Kebanggaan kita sebagai orang tua sangatlah membangun kesadaran anak akan harga
dirinya.
3.
Membantu anak memahami kasih Kristus
Banyak anak, sulit memahami kasih Kristus
karena mereka seringkali dipukul oleh orang tuanya. Saat kita atau gereja
mengatakan bahwa Bapa di Sorga mengasihi mereka, mereka langsung teringat akan
bapak mereka yang kadangkala marah, memukul, atau sibuk dengan pekerjaannya
sendiri.
Menurut Bruce Power (1982) dalam tahap
pertumbuhan iman, di usia 0-6 tahun anak-anak dapat belajar tentang kasih
Kristus atau tentang imannya melalui pengalaman saat mereka diperhatikan dan
dipedulikan. Perhatian dan kepedulian yang dilakukan secara konsisten dan
berulang itulah yang akan membuat anak-anak kita tahu bahwa mereka dikasihi.
Bersamaan dengan kasih yang kita berikan itu juga, kita dapat membisikkan
kepada mereka bahwa Tuhan Yesuspun mengasihi mereka.
Suatu kali Ela berteriak dan membentak. Dia
kesal karena keinginannya tidak terpenuhi. Lalu ibunya mengelus dadanya sambil
berdoa, “Tuhan Yesus, tolong supaya Ela sabar.” Sambil menangis Ela menjawab,
“Aku tidak mau sabar!” Untuk kedua kalinya sentuhan fisik dilakukan sang ibu
dengan memeluk dia erat-erat sambil mengelus punggungnya dan mengatakan, “Aku
menyayangimu… Ela! Tuhan Yesus, tolong beri kesabaran kepada Ela!” Ela berontak
berkali-kali namun pelukan ibunya lebih kuat dari elakan tangannya. Sampai
akhirnya kekuatannya habis, ia lemas dalam pelukan ibunya dan diam-diam ia
memeluk balik ibunya sebagai respon kenyamanannya. Dalam keadaan tidak berdaya
seperti itu, sang ibu justru menciumi dia dan mengatakan, “Terima kasih Tuhan
Yesus. Ela memang kesal dan lelah, berikan terus kesabaran kepada Ela!”
Dr. Ross menyetujui bahwa sentuhan fisik
serta tatapan mata orang tua kepada anak, haruslah terjadi setiap hari. Hal ini
semestinya terjadi secara alami, tanpa paksaan dengan tujuan memberikan
kenyamanan buat anak. Mengapa? Karena sentuhan fisik adalah hadiah terindah
yang dapat diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Sayangnya ada banyak orang tua tidak
memahami hal ini. Misalnya orang tua dari Tom. Ia tidak menyadari bahwa hal ini
penting bagi anaknya. Ia hanya tahu bahwa seorang anak laki-laki harus
diperlakukan seperti pria dewasa. Mengapa? Karena iapun mendapatkan perlakuan
ini dari ayahnya. Atau orang tua lainnya, mereka lebih memilih menonton TV
sementara penjaga anaklah yang meninabobokan anak-anak mereka di pelukannya.
Padahal saat seorang anak tidur dalam genggaman dan pelukan seseorang, mereka
merasa nyaman karena mendapatkan kehangatan dan mendengarkan detak jantung
penggendongnya. Itu sebabnya, anak-anak akan ketagihan dengan orang-orang yang
meninabobokannya sehingga banyak dari mereka hanya bisa tidur jika orang yang
biasa meninabobokannyalah yang melakukannya.
Beberapa kebutuhan sesuai tingkat
perkembangan usia anak menurut Dr. Ross:
Para Bayi sampai usia 7 tahun, mereka
membutuhkan sentuhan fisik dengan cara dipeluk, tidur berdekatan, ditimang dan
dicium. Survei membuktikan bahwa bayi perempuan membutuhkan 5 kali sentuhan
fisik lebih banyak dibandingkan bayi laki-laki.
Untuk anak-anak yang lebih besar dari itu,
apalagi anak laki-laki, mereka tidak lagi terlalu membutuhkan ciuman dan
pelukan penuh. Yang mereka perlukan adalah sentuhan fisik yang lebih sesuai
dengan gaya seorang anak laki-laki “Boy Style” seperti bergulat bersama, saling
mendorong, tepukan di punggung, sebab hal itu sudah bermakna sama seperti
pelukan dan ciuman. Itu sebabnya, waktu yang sangat efektif untuk memberikan
sentuhan fisik bagi anak laki-laki adalah saat usianya 12-18 bulan.
Berbeda dengan anak-anak perempuan, justru
semakin usia mereka beranjak dewasa, mereka justru tetap memerlukan cinta kasih
dalam bentuk sentuhan fisik yang mendalam, termasuk dari ayah mereka.
Mengapa bagi anak perempuan, hal sentuhan
fisik lebih diperlukan? Karena hal itu merupakan persiapan mereka menuju usia
dewasa. Melalui hal tersebut, anak-anak perempuan membangun gambaran dirinya
dan mendapatkan identitas seksualnya. Maksudnya, ia semakin yakin bahwa ia
adalah perempuan yang berharga dengan pengalaman yang dihargai oleh orang
tuanya melalui sentuhan fisik yang diungkapkan dengan penuh cinta kasih.
Seorang pemudi, Ani, mengatakan bahwa
satu-satunya orang yang mengatakan bahwa dia berharga adalah ayahnya. Ia ingat
bahwa ayahnya seringkali mengatakan bahwa ia cantik. Itu sebabnya, sekalipun
tidak ada seorangpun yang pernah mengatakan demikian kepadanya, harga dirinya
terbangun saat ia mengingat kata-kata ayahnya.
Pertanyaannya, apakah kita sudah melakukannya
terhadap anak-anak kita? Jangan biarkan mereka mengalami hadiah terindah ini
dari orang lain selain orang tuanya. Karena kesempatan itu diberikan Tuhan
kepada kita, orang tua mereka.
Pdt.
Riani Josaphine
(sumber: http://gkipi.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar