BERMEGAH DALAM KASIH
SETIA, KEADILAN DAN KEBENARAN TUHAN
Naluri manusia memiliki tujuan agar dapat
memperoleh hidup bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan itu, manusia berlomba
dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya, bekerja keras, dan kemudian
mendapatkan kekayaan. Namun, ketika manusia mendapatkan semua itu, apakah ia
sudah memperoleh kebahagiaan ? Manusia memang menjadi bijak (pintar) melalui
pengalaman hidup dan dengan pendidikan. Tetapi itu tidak menjamin ia bahagia. Itu
sebabnya dikatakan, janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya.
Demikian juga kekuatan dan kekayaan yang dicari dan diperoleh dengan berlelahlelah,
itupun tidak menjadi jaminan manusia memperoleh kebahagiaan.
Di zaman yang makin moderen ini, kebaikan Tuhan
sesungguhnya makin dirasakan manusia. Tuhan memberikan berbagai fasilitas dan
kemampuan bagi manusia. Kehidupan manusia makin sehat, makin kuat, makin kaya,
makin cangggih. Jika orang-orang para pendahulu kita, yang telah meninggal satu
atau dua generasi sebelumnya bisa bangun dari kuburnya, dan membandingkan
kehidupan di zamannya dengan kehidupan masa kini, ia akan akan berdecak kagum,
‘wao’. Begitu banyak perubahan.
Pada zaman Yeremia, perubahan itu juga
sudah berlangsung di dalam kehidupan umat Tuhan. Israel dibawah kepemimpinan
raja Manasye telah menjalin hubungan bilateral dengan bangsa Asyur. Kehadiran Asyur
cukup memberi andil bagi kemajuan Israel.
Bangsa Israel bertumbuh menjadi negara kuat karena bersahabat dengan Asyur (negara
super power pada zamannya), dan makin kaya karena perdagangan yang makin hebat.
Raja Manasye cukup bermegah (bangga) atas pencapaian kemajuan bangsanya. Semua itu
dirasakan karena kebijakannya menjalin hubungan dengan Asyur. Demi kelanggengan
hubungan dengan Asyur, maka raja Manasye juga memberikan kebebasan beragama bagi
Asyur mengembangkan kepercayaan/agama yang mereka anut, bahkan memfasilitasi Asyur
untuk membangun kuil, tempat peribadahan. Sampai di sini, raja Manasye telah
menunjukkan toleransi beragama. Raja Manasye patut mendapat penghargaan atas kebijakannya
dalam membangun toleransi beragama. Namun,
raja Manasye terbuai dengan kebijaksanaanya, ia kehilangan sikap kritis, dimana
raja Manasye turut mendorong-dorong rakyat Yehuda mengikuti agama Asyur itu. Kehadiran
Asyur yang membawa kemajuan sesungguhnya cukup mempengaruhi gaya hidup umat
Tuhan, dengan mengidolakan Asyur. Oleh sebab itu, jika raja Manasye mengambil
kebijakan agar rakyat Yehuda mengikuti agama Asyur, maka sempurnalah
pengidolaan umat. Rakyat Yehuda menjadi ikut terseret memuja Baal, dewa-dewa,
dan mengorbankan anak-anak sebagai persembahan dalam agama Asyur. Lebih aneh
lagi, raja Manasye menghukum orang-orang yang tidak menuruti agama Asyur. Raja
Manasye telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kejahatan. Akibatnya, seluruh
budaya dan agama Asyur turut diadopsi umat Tuhan.
Nabi Yeremia melihat pengaruh Asyur ini sudah
sangat berbahaya, sebab telah merusak sendi-sendi keimanan umat Tuhan. Raja
Manasye telah membuat kebijakan yang membuat bangsa pilihan itu melenceng
begitu jauh dari maksud Tuhan. Mereka melihat allah yang disembah Asyur lebih
hebat dari Allah yang telah disembah nenek moyang Israel ratusan tahun, yang
membebaskan mereka dari perbudakan. Pengaruh agama Baal ini telah mengubah gaya
hidup umat Tuhan. Mereka sampai pada pikiran, bahwa segala yang mereka miliki
karena ketaatan mereka pada allah Baal. Dengan demikian, apa yang mereka miliki
dianggap sebagai kemampuan mereka mengikuti allah Baal. Mereka telah mengabaikan
Allah. Inilah kesombongan ! Kelak, Tuhan menghukum Israel menjadi bangsa yang
terbuang. Tragisnya, umat Tuhan ini akan menjadi jajahan bangsa Asyur sendiri.
Dalam kemajuan dan sarat kejahatan itulah Yeremia
mengingatkan : Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah
orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena
kekayaannya. Yeremia bukanlah anti terhadap orang-orang bijak, anti terhadap
orang kuat, anti terhadap kekayaan. Yang Yeremia sampaikan sebagai hamba Tuhan
adalah ‘siapakah sumber semuanya itu’ ? Yeremia hendak menegaskan bahwa segala
yang melekat pada umat Tuhan bersumber dari Tuhan. Oleh sebab itu umat Tuhan
harus senantiasa menyembah Tuhan. Kalaupun Asyur datang membawa perubahan,
bukan berarti umat menyembah allah orang Asyur. Sebab sesungguhnya Tuhan
jugalah yang berkenan mengutus bangsa Asyur membawa perubahan itu.
Karena itu, pada ay. 24 Yeremia berkata : ‘siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah
karena ia memahami dan mengenal Aku’. Umat percaya boleh bangga (bermegah)
dengan segala yang dimiliki tetapi hendaklah semua itu dilihat sebagai anugerah
Allah.
Kita perlu
memahami dan mengenal Tuhan, sehingga kita dapat mengimani ungkapan Paulus
(Roma 5:2-3), ‘Di dalam kasih karunia ini
kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.
Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita’.
(a) Memahami
Tuhan. Segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian Tuhan. Kita harus
mensyukuri segala yang melekat pada diri kita ; entah banyak atau sedikit.
Segala yang kita miliki adalah anugerah Tuhan (Sola gratia), bukan
karena kekuatan kita semata. Kita memang layak mengucapkan terima kasih bagi orang
yang berjasa membuat kita memiliki sesuatu, karena ia berkenan Tuhan pakai
menjadi alatNya. Tetapi orang tersebut bukan untuk disembah, apalagi untuk ‘dijilat’.
(b) Mengenal Tuhan. Mengenal Tuhan berarti kita tahu
kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan atas segala yang kita miliki bukan untuk sekedar
pajangan atau dipamerkan. Tuhan menghendaki agar segala yang kita miliki
dipergunakan dengan rendah hati bagi kemuliaan Tuhan. Kita tidak benar mengaminkan
segala milik kita sebagai pemberian Tuhan kalau kita tidak memberlakukan
kehendak Tuhan atas apa yang Tuhan berikan.
Sesungguhnya segala yang kita miliki masih ‘suatu
alat’ untuk mencapai kebahagiaan. Suatu alat hanya akan berguna jika ia
difungsikan. Kalau hanya sekedar memiliki (sekalipun itu buuuaaanyak) tanpa
digunakan, maka manusia belum dapat merasakan kebahagiaan itu.
Illustrasi.Ada seorang ibu yang
sudah janda, yang harus membiayai beberapa orang anaknya. Si ibu ini hidup
sebagai petani. Demi anak-anaknya, si ibu harus pergi ke ladang ketika matahari
belum terbit, dan ia akan pulang setelah matahari tenggelam. Berkat kerja keras
sang ibu, seluruh anak-anaknya berhasil menyelesaikan studi dengan baik,
memperoleh pekerjaan mapan, dan kemudian hidup dalam berkecukupan. Si ibu
tersebut sudah makin tua, dan sesungguhnya sudah dapat menikmati kehidupan
dengan tenang. Namun ibu ini malah makin keras bekerja. Seperti biasa ia pergi
ke ladang sebelum matahari terbit. Pada jam 10
dia pulang memasak dan sarapan. Lalu ia membungkus makanan untuk bekal siang.
Menjelang malam, si ibu itu pulang, mandi, makan nasi yang dimasak tadi pagi,
cuci piring sendiri, dan tidur. Seluruh penghasilan yang diperoleh dari hasil
jerih payahnya disimpan, tanpa pernah dinikmati selayaknya. Ia kikir untuk
dirinya sendiri dan pelit bagi orang lain. Kalau ke gereja ia mengantuk dan ngorok,
sebab pagi sebelumnya ia sempatkan ke ladang. Begitulah ia terus menerus sampai
hari tuanya. Ibu itu tidak pernah merasakan kebahagiaan, karena pikirannya selalu
dicekoki kekayaan tetapi tidak pernah digunakan (dinikmati) bagi dirinya, apalagi
bagi kemuliaan Tuhan.
Manusia akan memperoleh kebahagiaan jika manusia itu mampu memahami dan
mengenal Tuhan. Di dalam pemahaman dan pengenalan yang benar akan Tuhan, saat
itulah manusia bisa merasakan kasih setia Tuhan, keadilan, dan kebenaran.
Itulah kebahagiaan. AMIN
Luar biasa hamba-Nya di pakai Tuhan, sangat bermanfaat.
BalasHapus