BARANGSIAPA KUKASIHI, IA KUTEGOR DAN KUHAJAR
Gereja yang bagaimanakah gereja kita saat
ini, dan gereja bagaimana yang kita inginkan ? Kristen yang bagaimanakah kita,
dan bagaimana mestinya menjadi Kristen ? Saya sangat percaya, setiap jemaat dan
pelayan menghendaki supaya gereja bertumbuh dengan baik.
Kitab Wahyu menggambarkan 7 jemaat yang
masing-masing memiliki potensi tetapi sekaligus menjadi jemaat yang dicela
dengan berbagai julukan. Jemaat Laodikia dijuluki sebagai jemaat yang
‘suam-suam kuku’. Suam-suam kuku tidak selamanya buruk, ada kalanya disukai
orang pada beberapa jenis makanan/minuman. Tapi dalam teks ini, suam-suam kuku
memang menjadi celaan. Ada sebuah sumber mata air di Laodikia. Sumber aslinya
memang sangat panas tetapi setelah melewati bebatuan, panas air itu berkurang
dan menjadi suam-suam kuku. Air yang demikian kurang mantap untuk mandi.
Air yang suam-suam kuku untuk mandi dan
minum mungkin masih baik, dan banyak orang menginginkan yang demikian. Tapi
untuk suasana berjemaat, suam-suam kuku itu sangat berbahaya. Penulis kitab
Wahyu menuliskan (16b) : ‘Aku akan
memuntahkan engkau dari mulutku’…..sarge….
Daerah Laodikia merupakan penghasil wol
yang dapat diolah sebagai bahan kerajinan untuk dijadikan pakaian. Laodikia
menjadi salah satu kota perdagangan, sehingga kehidupan ekonomi masyarakat
cukup mapan. Selain ekonomi, Laodikia juga memiliki tempat pendidikan
medis. Laodikia sebagai pusat pendidikan
medis telah turut mendorong mereka menikmati kesehatan yang baik. Semua
nilai-nilai jasmani ini cukup membuat masyarakat Laodikia merasa mapan dalam
segala hal. Dengan kondisi ekonomi dan kesehatan yang baik itu, masyarakat
Laodikia merasa tidak butuh siapa-siapa
kecuali dirinya sendiri. Kebanggaan dan kesombongan menjadi gaya hidup mereka.
Percakapan yang terjadi pun hanya sekitar bisnis, kekayaan yang dimiliki, dan
kesehatan fisik. Mereka selalu terobsesi untuk dikagumi orang lain. Dengan
kekayaan dan dukungan kesehatan itu, mereka merasa cukup segala-galanya, tidak
kekurangan suatu apapun, mereka tidak butuh siapapun. Benar, mereka dapat
memiliki dan menikmati ini dan itu.
Dalam kehidupan berjemaat sikap-sikap
duniawi itu terbawa-bawa dalam persekutuan. Penulis kitab Wahyu tentu bersyukur
atas kepemilikan mereka. Hanya saja dengan segala yang mereka miliki telah
membuat mereka menjadi sombong. Kekayaan dianggap sebagai pemberi jaminan hidup.
Kekayaan telah cukup menjadi sandaran hidup mereka. Sikap dan mental sombong
itu turut terbawa memasuki persekutuan Kristen di jemaat Laodikia. Kekayaan
dianggap sebagai pemberi jaminan kelangsungan hidup. Kekayaan telah cukup
menjadi sandaran hidup mereka. Kemapanan dalam hidup jasmani/materi bukanlah
jaminan untuk beroleh hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Di sinilah gaya
hidup mereka itu disoroti oleh terang firman Tuhan. Pengandalan terhadap diri
sendiri adalah kesombongan. Sesungguhnya juga, dibalik kesombongan tersembunyi
ketakutan. Mereka takut kehilangan atau ambruknya kekayaan yang telah dimiliki.
Sekalipun Laodikia sebagai pusat kesehatan tetapi mereka akan tetap menghadapi
kematian. Ini juga bagian yang membuat mereka takut di dalam hidup ini. Takut
kehilangan harta dan takut pada kematian.
Satu sisi mereka mengaminkan pemberian
Tuhan tapi pada sisi lain mereka takut kehilangan. Karena itu, kitab Wahyu
menggambarkan mereka sebagai jemaat yang suam-suam kuku. Kesuam-suaman kuku itu
diperjelas bahwa sesungguhnya mereka melarat,
malang dan miskin, buta dan telanjang. Mereka tidak sungguh-sungguh mengimani
Kristus. Mereka berucap tentang Kristus tetapi pikiran dan tindakan mereka jauh
dari kehendak Kristus. Tuhan tidak menghendaki kehidupan yang demikian, sama
dengan munafik. Tuhan akan memuntahkan orang demikian.
Mengikut Tuhan
memerlukan ketegasan. Tuhan menghendaki agar mereka sungguh-sungguh kaya. Jika
mereka telah mengaminkan itu bersumber dari Tuhan maka memang tidak perlu
ditakutkan bila Tuhan mengambilnya kembali. Itu adalah wewenang Tuhan. Orang
kaya yang sesungguhnya tidak ada yang ditakutkan, apapun. Karena itu, jika
ingin sungguh-sungguh menjadi kaya, kitab Wahyu menasehati jemaat Laodikia
membuat ‘deposito rohani’ : ‘agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih,
supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan;
dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.’ Penulis kitab Wahyu sadar bahwa peringatan itu sulit
mereka terima bahkan dapat mendatangkan ‘hilang total’ iman mereka. Karena itu
dengan sedikit lembut disebutkan (3:19) ‘Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan
Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!’ Peringatan keras dari
Kristus terhadap jemaat Laodikia ini timbul dari kasihNya.
Sekalipun Kristus memiliki kuasa yang
tinggi tetapi Yesus menyebut diriNya berada di
depan pintu yang sedang mengetok pintu (memohon). Jika jemaat Laodikia
membuka pintu maka Kristus akan masuk dan makan bersama dengan mereka. Yesus
yang adalah kebenaran memanggil umat untuk hidup dalam kebenaran bersama-sama
dengan Yesus. Makan bersama merupakan simbol persekutuan bagi orang Palestina.
Penerimaan Kristus oleh jemaat Laodikia merupakan pendahuluan dan janji dari
yang akan datang. Kristus menjanjikan dengan sungguh-sungguh kepada orang yang
menang (yang makan bersamanya) bahwa ia akan duduk bersama-sama dengan Kristus
di dunia yang baru. Puncak dari nasehat Yesus ini adalah Pengikut Kristus akan
mendapat martabat raja kelak, tetapi hanya jika diikat dalam pertalian dengan
Kristus.
Mengikut Kristus adalah sebuah pilihan.
Karena itu merupakan pilihan maka setiap pengikut Kristus perlu ketegasan.
Mengikut Kristus bukanlah untuk beroleh dunia ini malahan menyangkal dunia.
Karena itu, mengikut Kristus berarti keberanian melawan arus dunia yang
berwarna kejahatan. Pengikut Kristus harus berani menggarami atau memberi warna
atas dunia ini. Kalimat ‘kaki kita masih di dunia ini’ merupakan bahasa
kompromi, yang menunjukkan ketidaktegasan mengikut Kristus.
Sekian lama kita telah membangun
persekutuan di dalam gereja Tuhan. Bagaimanakah jemaat menghidupi dirinya
melalui persekutuan ini. Adakah gereja sungguh-sungguh ruang bagi jemaat dan
pelayan untuk menimba kebutuhan rohaninya. Bukankah gereja seringkali digunakan
sebagai gelanggang untuk melanggengkan kerakusan kuasa dengan mempertontonkan kehebatannya
belaka ? Gereja mestinya menjadi persekutuan di dalam Kristus, dimana setiap
orang yang terhisap ke dalamnya beroleh pertumbuhan rohani, entah itu sebagai
warga jemaat atau pelayan. AMIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar